Halaman

Senin, 30 Juni 2008

Satu Hari

Hari dimulai. Usai shalat subuh di masjid, Toni pulang sambil lari pagi. Sampai di rumah dan masih ngos-ngosan, ia membuka pintu rumahnya dan mengucapkan salam,
“Assalamualikum.” Dengan nafas terengah-engah.
“Waalaikumsalam.” Ibunya menjawab dengan ramah dari dapur.
Ibu sedang sibuk memasak di dapur, ayahnya tidak ada di rumah karena sedang bekerja di kota. Sedangkan adiknya sedang menyiapkan buku pelajarannya hari ini. Lalu Toni masuk ke kamarnya dan ia memeriksa kembali buku yang harus Ia bawa nanti. Tiba-tiba Toni menjatuhkan sebuah buku “plok”. Lalu Ia mengambil buku itu lalu membukanya dan membacanya, iapun jadi teringat masa saat masih SMP dimana ia bisa bercanda, belajar, kadang juga berkelahi dengan teman-temannya. Ia lalu melihat tulisan yang ia rasa berbeda dengan tulisannya. Toni mencoba mengingat tulisan siapa itu. Tapi ia tidak ingat. Lalu Ia meletakkan buku itu di meja belajarnya. Dengan melupakan sementara siapa si penulis tulisan itu karena sebentar lagi ia harus mandi agar tidak terlambat ke sekolah.
Setelah selesai memeriksa Ia lalu mandi setelah itu sarapan, Toni pergi ke dapur untuk melihat apakah sarapan yang dibuat ibunya? Bau cabai mulai menusuk hidungnya dan hangatnya hidangan itu mulai terasa. Di atas meja ada tiga piring yang berisi nasi goreng. Toni mengambil piring yang berisi nasi goreng bagiannya.




“Bismillahirrohmanirrohim.”
Lalu Ia langsung menyantap hidangannya dengan lahap. Akhirnya tibalah pada suapan terakhir.
“Alhamdulillah.”
Setelah selesai, ia meletakkan piringnya ke tempat cucian piring, lalu cuci tangan. Kemudian Ia mempersiapkan perlengkapan sekolahnya. Lalu saat akan berangkat, ia kebingungan mencari dasinya. Dicari-carinya di belakang pintu, di laci meja dan akhirnya ia menemukan dasinya dengan buku pelajaran yang ternyata belum dimasukkan ke dalam tasnya di atas meja belajarnya. Kemudian Toni memakai dasinya dan memasukan buku tadi dan juga mengambil STNK sepeda motornya di lemari kamarnya. Setelah itu Ia mencium tangan ibunya dan mengucapkan salam kepada ibunya. Lalu Ia menghidupkan sepeda motor yang sebelumnya sudah dipanaskan lalu memakai helmnya lalu tancap gas. Toni juga berangkat dengan adiknya yang bersekolah di SMP yang satu arah dengannya walaupun jarak antara sekolah Toni dengan adiknya masih berjarak belasan kilometer.
Sesampainya di sekolah adiknya, Toni bertemu dengan adik kelasnya sewaktu Toni masih SMP, namanya Iwan. Toni lalu mengucapkan salam,
“Assalamualikum, Wan. Gimana kabarnya?” sambil melepas helm yang ia pakai.
“Waalaikumsalam, kak Toni. Wah Alhamdulillah baik.” Iwan bersalaman dengan Toni.
“Gimana keadaan SMP sekarang?”
“Alhamdulillah masih bisa dibilang baik.”
“Adikku bikin onar di sekolah nggak?”
“Sementara ini belum.”
“Kalau begitu baguslah.”
“Oh ya, aku pergi dulu ya.”
“Ya. Hati-hati dijalan, kak.”
“Asalamualaikum.” Sambil memakai helmnya.
“Waalaikumsalam.” Iwan lalu masuk pintu gerbang sekolahnya.
Lalu Toni melanjutkan perjalanannya.
Tidak lama setelah ia meninggalkan sekolah adiknya. Toni melihat indicator bahan bakarnya yang sudah menunjuk ke arah warna merah. Untung di dekat situ ada warung yang menjual bensin. Toni lalu berhenti dan membeli satu liter bensin dan memberikan uang 5000 rupiah kepada pemilik warung sambl mengucakan terimakasih. Lalu ia melanjutkan perjalanannya yang baru setengah jalan.
Sesampainya disekolahnya Toni datang dengan hati yang riang saat melewati pintu gerbang. Tetapi setelah tiba ditempat parkir, mukanya menjadi lesu. Lalu ia pergi kelasnya dan meletakan tasnya di bangkunya lalu pergi ke kelas temannya, Budi di kelas Xc. Ia bertemu dengan Budi yang saat itu sedang membersihkan taman kelasnya sambil memegang sapu lidi, lalu Toni berkata,
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Aku kalah.” Dengan nada lesu.
“Seperti biasa aku yang menang.” Sambil tertawa.
“Tapi awas besok aku insyaallah bakal menang.”dengan nada meyakinkan.
“OK, kita lihat aja besok.” Dengan nada yang tidak kalah dengan Toni.
“OK.”
“Oh ya, Ton. Kamu punya buku pelajaran fisika ngak? Kalau punya aku mau pijam.”
“Ada ayo kita ambil dikelas.”
“Ayo.”
Budi pergi ke kelas Toni sambil membawa sapu lidinya. Sesampainya di kelas Toni, di kelas Toni sudah ada beberapa teman sekelasnya, Toni lalu mengucap salam sambil meminta Budi untuk masuk ke kelasnya. Lalu Toni mengambil buku fisika yang ada di tasnya dan memberikannya kepada Budi. Saat Toni mengantarkan Budi sampai di luar kelas, lalu Budi bertanya,
“Di kelasmu pelajaran fisika di jam keberapa?”
“Terakhir.”
“Kalau gitu nanti istirahat terakhir aku kasih ke kamu.”
“Ok.”
“Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Budi lalu pergi dari kelas Xb, kelasnya Toni untuk melanjutkan membersihkan taman kelasnya. Di kelas, Toni duduk di bangkunya dan bertanya kepada teman sebangkunya,
“Apa ada Pr hari ini?”
“Nggak ada.”
“Kalau begitu bagus.”
Toni lalu mengambil buku bahasa inggris dan membacanya. Tiba-tiba Ketua kelas Xb, Ridwan datang dengan mengucap salam lalu berteriak,
“Piket-piket, ayo piket.”
Teman sebangku Toni, Rudi berkata,
“Kamu telat, mas. Kelas udah bersih.” Dengan nada yang sedikit mengejek.
Ridwan tersipu-sipu malu lalu duduk di bangkunya dan meletakkan tasnya. Teman-teman sekelas Toni tertawa. Ridwan lalu melihat kearah kotak sampah dan ia tersenyum sambil berkata,
“Siapa yang piket hari ini.”
Toni yang sedang asik membaca buku berkata,
“Aku.” Sambil mengangkat tangan.
“Buang sampah!” Ridwan berkata sambil memukul meja.
“Ya....” dengan nada sedikit lesu.
Lalu Toni meletakkan bukunya lalu berjalan mengambil kotak sampah kemudian pergi ke lubang sampah yang jaraknya sekitar 25 meter dari kelasnya. Lalu kembali lagi ke kelasnya. Sikap ridwan memang seperti itu, suka membentak tetapi sebagai ketua kelas ia sangat tegas dan terkadang ia juga suka melucu dan membuat seluruh kelas tertawa.
Baru setengah perjalanan bel masuk berbunyi nyaring. Toni langsung berlari menuju kelas dan karena terburu-buru, ia menabrak seorang gadis berjilbab yang wajahnya mirip dengan temannya sewaktu SMP, tetapi gadis tadi bukan temannya itu. Buku milik gadis itu yang dipegangnya pun jatuh. Lalu Toni membantu mengambilakan buku gadis tadi yang jatuh, ada lima buku yang jatuh. Setelah Toni mengambil buku gadis tadi saat Toni akan memberikan bukunya. Ternyata gadis itu sudah pergi ke kelasnya yang entah dimana kelasnya. Lalu Toni berlari menuju kelasnya sambil membawa buku gadis tadi, karena Toni sudah melihat pak Iman, guru yang mengajar bahasa inggris di kelasnya sudah keluar dari kantor dan dalam perjalanan menuju kelasnya.
Sesampainya di kelas Toni langsung duduk di bangkunya. Lalu meletakkan buku gadis tadi di laci mejanya. Setelah itu pak Iman datang. Ridwan memerintahkan untuk berdoa, setelah itu mengucapkan salam kepada bapak Iman. Pelajaran pun dimulai. Pak Iman mengajar dengan penuh semangat dan terkadang disertai bumbu humor. Tetapi ada yang lebih humor dari pada pak Iman. Saat pak Iman sedang seru-serunya mengajar tentang Narative text, Ridwan yang dari tadi entah kenapa uring-uringan, mungkin dia sudah menyapkan sebuah rencana, lalu ia bertanya kepada pak Iman dengan bahasa inggris,
“Sir, what is the meaning of you go home in indonesian?” sambil tersenyum.
“Kamu pulang sana.” Dengan nada meyakinkan.
“Wah terima kasih pak, kalau begitu saya pulang dulu.” sambil membawa tasnya.
“Eit...eit...tunggu dulu. Kamu mau kemana Wan.” Pak Iman memanggil Ridwan.
“Pulang Pak. Tadi kan Bapak bilang saya disuruh pulang, Bapak ini gimana?” Ridwan menjawab dengan santai.
Teman-teman sekelasnya tertawa terpingkal-pingkal. Teman sebangku Toni berkata kepada Toni,
“Si Ridwan lagi kumat gilanya.” Sambil masih tertawa.
Lalu pak Iman berkata kepada Ridwan,
“Baiklah kamu boleh pulang.” Pak Iman tesenyum seperti sudah mengetahui siasat Ridwan.
“Yes.” Ridwan sambil menggenggam tangannya.
Saat Ridwan baru berjalan beberapa langkah tiba-tiba pak Iman berkata,
“Kamu boleh pulang, tapi syaratnya kamu harus bisa menjawab pertanyaan Bapak.”
“Apa pak?”
“What is the meaning of I don’t know in indonesian?”
“Mudah pak. Saya tidak tahu.” Nadanya meyakinkan.
“Karena kamu tidak tahu jadi kamu tidak boleh pulang. Yang lainnya tahu kan apa arti I don’t know.” Sambil melihat ke arah teman-teman sekelas.
“Ya....” jawab semuanya serentak.
Teman-teman sekelasnya tertawa untuk yang kedua kalinya karena melihat tingkah Ridwan. Ridwan lalu kembali ke bangkunya dan meletakkan tasnya di kursinya dan duduk, mukanya tampak lesu. Pak Iman berkata kepada Ridwan,
“Ridwan, berdiri kamu!”
“Ya pak.” Ridwan berdiri dengan sikap dan wajah yang menggambarkan ia siap menerima resiko apapun.
“Ridwan kamu....” pak Iman menghela nafas.
“Apa pak?” jantung Ridwan berdebar kencang.
Teman-teman sekelasnya juga ketakutan, seandainya Ridwan kena marah pak Iman bisa-bisa ia di keluarkan. Pak Iman lalu melanjutkan perkataannya.
“Kamu kalau sudah besar nanti, jadilah pelawak yang tidak lucu ya!”
“Ya Pak.” Ridwan duduk sambil tersenyum lega.
Pak Iman lalu tertawa. Ridwan pun ikut tertawa dan teman-teman sekelas pun ikut tertawa. Itulah hebatnya Ridwan apalagi ditambah pak Iman kelas itu di buatnya seperti berada di acara srimulat, semua siswa larut dalam keceriaan. Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswi kelas Xb semakin bertambah cerianya. Pak Iman lalu mengakhiri pelajarannya dan mengucapkan salam lalu pergi keluar kelas.
Toni lalu ingat dengan gadis yang ia tabrak tadi. Ia ingin mengembalikan bukunya. Tetapi toni tidak tahu gadis tadi berada di kelas mana? Ia baru ingat kalau setiap buku tulis biasanya di depannya ada nama dan kelasnya. Ia lalu mengambil buku gadis tadi yang ia letakkan di dalam lacinya. Dia melihat tulisan ‘Nama : Niasari, Kelas : Xc’ Ia lalu berfikir dalam hati,
“Kelas Xc kan kelasnya Budi.”
Tanpa pikir panjang Ia langsung pergi ke kelas Xc.
Di kelas Xc dia melihat gadis tadi lalu Toni menemui Budi yang saat itu sedang ngobrol dengan temannya di depan pintu kelas. Toni lalu berkata,
“Bud, tolong panggilin Niasari ya!”
“Ada berlu apa?”
“Pokoknya panggil dulu, nanti aku cerita atau mungkin kamu aja yang tanya sama dia.”
Muka Toni tampak serius dan membuat Budi tidak berani berkata-kata. Budi lalu menemui Niasari yang sedang duduk di bangkunya. Lalu Niasari datang menghampiri Toni. Toni lalu mengucapkan salam lalu memberikan buku milik Niasari sambil berkata kepada Niasari,
“Ini bukumu Nia.”
“Oh, terima kasih ya. Darimana kamu tau namaku sama kelasku?”
“Kan dibukumu ada tulisannya.”
“ Oh, dari situ ya.”
“Tadi pas aku nabrak kamu, kamu kok udah pergi duluan.”
“Tadi soalnya aku udah lihat pak guruku sudah hampir masuk kekelas ku. Jadi aku langsung pergi.”
“Kalau begitu aku pergi dulu ya.”
“Terima kasih ya.”
“Sama-sama. Assalamualikum.”
“Waalaikumsalam. Oh ya aku belum tahu siapa namamu?”
“Namaku tanya aja sama budi.” Lalu Toni berlari.
Toni lalu pergi ke kelasnya dan bel masuk pun berbunyi. Ia langsung cepat-cepat masuk kelas.
Di kelas Xc Niasari bertanya kepada Budi tentang Toni,
“Budi, nama anak yang mengembalikan bukuku tadi itu siapa namanya?”
“Dia namanya Toni.”
“Dia kenalanmu ya.”
“Ya. Aku juga sering balapan sama dia setiap hari.”
“Balapan. Balapan apa?” Niasari bertanya-tanya.
“Balapan siapa dulu yang sampai di sekolah. Memangnya kamu kira balapan yang kayak geng motor yang biasa di jalan malem itu.”
“Aku kira begitu.”
“Oh ya. Toni kok bisa dapet bukumu? Dapet dari mana?”
“Tadi pagi aku tabrakan sama Toni, bukuku jatuh terus aku ngak sempet ngambil soalnya, pak Sudi sudah hampir masuk kelas.”
“Tabrakan. Kamu di tabrak pakai motor?”
“Kalo pakai motor aku pasti udah luka-luka.”
“Bener juga. Jadi jangan-jangan kamu naksir dia ya. Dia kan ganteng pinter lagi dan juga kayaknya cocok sama kamu.”
“Nggaklah. Akukan nggak pengen pacaran. Soalnya nggak baik.”
“Nggak baik apanya?”
“Ya....” belum selesai Niasari berkata, di kelas terdengar suara grusak-grusuk lalu ada seorang siswa yang berkata,
“Pak Yudha datang.”
Pak Yudha adalah guru yang mengajar di kelasnya pada saat itu. Pelajaran di kelas Xc pun dimulai.
Jarum jam menunjuk ke angka 12. Bel pun berdering dan siswa-siswa berhamburan keluar kelasnya masing-masing. Setelah lewat beberapa menit azhan zhuhur berkumandang dari masjid sekolah. Siswa-siswa berdatangan menuju masjid untuk melaksanakan sholat zhuhur secara berjamaah. Seusai shalat zhuhur Toni pergi ke kantin sekolah untuk makan siang. Dia juga bertemu dengan Budi yang juga ingin menuju kantin untuk makan siang. Sesampainya mereka di kantin mereka memesan nasi sayur dan es teh. Mereka makan dengan lahap. Setelah selesai mereka membayar makanan dan minuman yang mereka makan. Kemudian mereka berbincang-bincang sambil menunggu bel masuk. Budi bertanya kepada Toni,
“Ton, ngomong-ngomong kamu ini udah pernah punya pacar apa belum?”
“Belum.” Toni menjawab dengan santai.
“Kayaknya temenku ada yang naksir kamu nih.” Sambil menepuk pundak Toni.
“Ah yang bener aja. Aku nggak pengen pacaran.”
“Bosen aku Ton, aku udah denger kalimat itu dua kali.”
“Siapa selain aku?” Toni bertanya-tanya.
“Niasari.”
“O..dia....”
“Ya jelaslah, dia kan perempuan alim. Oh ya ngomong-ngomong kamu memangnya ngak tertarik sama perempuan sama sekali?”
“Aku kan laki-laki normal. Ya pasti suka sama perempuan lah, masa sama laki-laki.”
“Kalo gitu pasti ada perempuan yang kamu suka.”
“Iya...eh....” Sambil menutup mulutnya.
“Hayoo..., siapa namanya?”
“Temanku satu SMP.”
“Siapa namanya?” Budi meninggikan nadanya.
“Tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya!”
Budi mengangguk. Beberapa saat kemudian bel masuk berbunyi. Budi meminta Toni untuk memberi tahunya nama perempuan yang Toni sukai. Karena tidak tega melihat sahabatnya meminta-minta seperti itu. Toni lalu berkata kepada Budi,
“Ya udah nanti aja sepulang sekolah ya.”
“Kalau begitu aku duluan ya, Assalamualikum.” Toni berlari menuju kelasnya.
“Waalaikumsalam. Hey Ton....”
Baru berlari beberapa meter, karena mendengar teriakan Budi, Toni menghentikan larinya dan menghadap ke arah Budi sambil bertanya,
“Ada apa?”
“Buku fisikamu udah aku kasih sama temen sebangku kamu.”
“Ya..., terima kasih ya.”
“Sama-sama, awas kesandung.”
Toni melanjutkan larinya sambil tersenyum.
Di kelas Toni jadi ingat dengan perempuan yang ia sukai. Ia ingat lagi saat pertama kali bertemu dengannya. Lalu tiba-tiba pak Yudi, guru yang mengajar di kelasnya memanggilnya,
“Toni, maju ke depan, kerjakan soal ini.”
Toni lalu maju ke papan tulis. Untung saja kemarin malam dia sudah belajar soal fisika yang seperti itu. Jadi ia masih bisa bernafas lega. Lalu pak Yudi berkata,
“Lain kali jangan ngelamun lagi ya!”
“Ya Pak.”
Lalu ia duduk kembali ke bangkunya. Pelajaran pun berlanjut. Hingga akhirnya jam menunjukan pukul 14.00 bel yang menjadi sesuatu yang dinanti-nanti oleh sebagian siswa berbunyi. Tetapi tidak semua seperti itu, contohnya Toni. Ia tidak ingin bel berbunyi karena sebenarnya ia tidak ingin memberi tahu orang lain. Tetapi karena ia sudah berjanji kepada Budi untuk memberi tahunya nama perempuan yang Toni sukai dia mau tidak mau harus melakukannya. Toni pergi menuju kelas Xc untuk menemui Budi. Tetapi ia tidak menemukan Budi di kelasnya. Kemudian ia pergi ke tempat parkir siswa. Saat ia menaiki motornya, dia merasa ada yang aneh pada sepeda motornya. Lalu Toni melihat ban belakang motornya. Ternyata bannya kempes. Ia tidak berfikir siapa yang mengempesi ban sepeda motornya, ia hanya berfikir kalau kejadian ini sudah diatur oleh Allah dan ini mungkin ujian untuknya. Karena itu ia lalu mendorong sepeda motornya sampai ke bengkel yang berjarak sekitar 100 meter dari sekolahnya tanpa ada rasa marah sedikit pun. Saat tiba di pintu gerbang sekolah, Toni bertemu dengan Budi yang sedang mencabut paku dari ban sepeda motornya. Toni menghampirinya lalu mereka mendorong motor mereka masing-masing ke bengkel bersama-sama. Paling tidak Toni mendapatkan teman yang senasib, jadi ia tidak begitu malu mendorong motornya dan mendapat teman ngobrol.
Sesampainya di bengkel Toni mempersilahkan Budi untuk menambal ban sepeda motornya terlebih dahulu. Sambil menunggu ban sepeda motor Budi yang sedang ditambal, Budi meminta Toni untuk memberi tahunya siapa nama perempuan yang disukai oleh Toni,
“Ton, kita lanjutkan pembicaraan kita tadi. Siapa nama perempuan yang kamu sukai itu?”
“Namanya Nia.” Dengan berbisik.
“O...jadi namanya....”
Toni langsug menutup mulut Budi sambil berkata,
“Stt...jangan keras-keras ngomongnya.”
Akhirnya ban sepeda motor milik Budi selesai ditambal. Lalu Toni meminta kepada si pemilk bengkel untuk ‘tambah angin’. Setelah itu Budi dan Toni membayar biaya mereka masing-masing lalu mereka pergi meninggalkan bengkel itu. Setelah lewat beberapa meter dari bengkel tadi, hujan turun dengan sangat deras. Merekapun berteduh di warung yang kebetulan sudah tutup. Sambil menunggu hujan reda mereka ngobrol. Budi tiba-tiba berkata,
“Jadi Nia itu pacarmu ya?”
“Bukan, aku kan pernah bilang aku nggak pengen pacaran.”
“Ton, aku jadi inget sama Niasari.”
“Kenapa?”
“Soalnya tadi dia bilang pacaran itu nggak baik. Kenapa bisa begitu Ton?
“Ya jelas. Soalnya pacaran itu banyak mudharatnya.”
“Apa aja?”
“Banyak, aku lupa apa aja.”
“Kamu itu gimana masa bisa lupa.”
“maaf, maaf.”
“Kalo gitu dia siapamu?”
“Dia itu bisa dibilang cinta pertamaku.”
“Memangnya kamu ngak pernah kepikiran untuk nembak dia?”
“Tentu saja ngak, soalnya belum tentu dia suka sama aku. Aku kan tadi bilang aku yang suka sama dia. Bukan dia yang suka sama aku.”
“O...begitu, lalu sampai sekarang, kamu udah pernah ketemu dia apa belum?” Gaya bicaranya seperti seorang wartawan.
“Belum.”
“Memangnya dia sekolah dimana?”
“Yang jelas bukan di sekolah kita.”
Budi lalu terdiam, mungkin kerena ia kehabisan kata-kata. Lalu setelah lama diam. Budi berkata,
“Ton nasib kita sama ya. Ban kita sama-sama kehabisan angin. Walaupun banmu hanya kempes dan banku bocor.”
“Namanya juga takdir. Memangnya kamu bisa tahu hari ini ada kejadian apa?”
“Nggak.”
“Takdir kan Allah yang mengatur, kita ya nggak bisa apa-apa. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha.”
“Betul juga katamu.”
Akhirnya hujan pun reda. Toni dan Budi menaiki motornya masing-masing lalu menghidupaknnya. Lalu Toni mengucapkan salam dan mereka berpisah.
Ditengah perjalannya ia bertemu dengan Udin, temannya yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Toni. Toni lalu menghampirinya dan berkata,
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Baru pulang sekolah, Din.”
“Ngak tadi aku habis maen dari rumah temen.”
“Din, mau ikut ngak.”
“Beneran ,nih.”
“Ya iya, ayo naik.”
“Wah, makasih ya.”
Lalu Udin naik ke motor, lalu merekapun malanjutkan perjalannya.
Ditengah perjalanan suara adzan ashar berkumandang. Lalu Toni berhenti di masjid yang ada di dekat situ. Di masjid itu Toni dan Udin turun dari sepeda motor Toni. Helm yang ia pakai ia letakan di spion motornya. Lalu mereka melepas sepatu mereka. Kemudian mereka kebingungan mencari tempat whudu. Untung saja ada bapak-bapak yang memberi tahu mereka bahwa tempat wudhunya ada di belakang masjid. Saat mereka akan pergi ketempat wudhu yang ada di belakang. Bapak yang tadi memberitahu tempat wudhu memanggil mereka dan berkata bahwa mereka bisa ke tempat wudhu dengan masuk kedalam masjid dan masuk pintu belakang, di situlah tempat wudhunya. Merekapun memasuki masjid dan masuk tempat wudhu dengan hati riang. Setelah selesai berwudhu mereka masuk ke dalam masjid lalu shalat tahiattul masjid. Setelah itu ada seorang bapak-bapak yang meminta Toni untuk iqamah. Toni lalu iqamah dan shalat pun di mulai. Setelah selesai shalat mereka berdoa. Lalu setelah selesai berdoa Toni menepuk pundak Udin lalu keluar dari masjid. Mereka memakai sepatu mereka lalu mereka naik ke sepeda motor milik Toni lau tancap gas, tentu saja dengan Udin yang duduk di belakangnya.
Tidak terasa akhirnya mereka sudah tiba dirumahnya Udin. Toni diajak Udin untuk mampir dulu, tetapi karena hari sudah sore Toni menolak ajakan si Udin. Toni akhirnya tiba dirumahnya. Dia mengucapkan salam lalu ibunya menjawab salamnya dengan ramah. Toni lalu masuk ke dalam rumah sambil membawa sepatunya yang sudah ia lepas sebelum masuk. Wajahnya tampak berseri-seri karena ia telah mengalami hal-hal yang membuat hatinya sangat-sangat bergembira.
Toni lalu langsung masuk ke kamarnya setelah meletakan sepatunya di rak sepatu. Di kamarnya ia melihat buku yang tadi pagi ia jatuhkan. Dia lalu akhirnya ingat siapa yang melihat tulisanya itu, dia adalah Lia. Toni menemukan tulisan Nia di bagian akhir tulisan itu.
Toni lalu berbaring di kasurnya dan mengingat masa-masa SMPnya, saat ia pertama kali bertem dengan Lia. Toni bertemu dengan Lia saat mereka datang ke acara ulang tahun teman mereka. Lia belum apa-apa sudah tahu nama Toni, padahal di sekolahnya sendiri Toni belum paernah bertemu sekali pun dengan Lia. Kata temannya, Lia itu gadis alim dan juga jarang sekali lewat depan kelas Toni saat dia pergi ke kentor atau tempat lainnya di sekolahnya. Lia juga sangat menjaga jarak dengan laki-laki dan jika memang harus berbicara dengan laki-laki paling tidak ia tidak berhadap-hadapan muka dan juga pasti disertai seorang atau lebih teman perempuannya jika akan berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, agar tidak terjadi fitnah. Tetapi jika hanya teman sekelas dan masih ada di kelas, ia juga tetap tidak menatap wajah teman laki-lakinya walaupun tidak ditemani teman perempuannya.
Mungkin hal itu yang membuat Toni jatuh cinta kepada Lia. Tetapi Toni belum tahu apakah Lia suka dengannya atau tidak? Toni juga tidak ada niat untuk ‘nembak’ dia, karena ia tidak ingin berpacaran. Juga karena islam melarang perempuan yang berduaan dengan laki-laki kecuali disertai muhrimnya. Karena ditakutkan orang yang ketiga adalah setan dan juga belum tentu Lia itu menjadi jodohnya nanti.
Karena keasyikan megingat masa lalu Toni sampai kaget saat melihat jam. Jam sudah menunjuk ke angka 17.45. dia langsung bangun lalu pergi ke kamar mandi tentu saja sudah mengambil handuk lalu mandi.
Malamnya Toni pulang dari masjid. Itu memang kebiasaan Toni pergi sebelum maghrib dan pulang sesudah isya. Bisanya ia berbincang-bincang dengan teman-teman rismanya dan yang pasti shalat maghrib dan isya tidak terlewatkan. Sesampainya di rumah setelah ia berganti baju, ia langsung mamasukan motornya ke dalam rumah. Lalu ia makan malam, setelah itu ia masuk ke kamarnya untuk mengerjakan Prnya dan belajar pelajaran hari besok. Setelah semua selesai dan memeriksa semua pintu sudah terkunci Toni tidur. Hari selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas Comment nya