Halaman

Jumat, 08 Agustus 2008

Sepeda onthel

Seorang remaja, Budi namanya. Ia naik sepeda ontel bersama adiknya, Deni. Deni ini masih baru berumur 4 tahun. Bicara saja belum becus, apalagi gomong ”R” susahnya minta ampun, pasti ngomongnya ”L”. Kalau ngafal alfabet juga ngak becus babar blas. Masa’ habis ”J , K” bukannya ”L” tapi malah ”R”. Pokoknya masih ingusanlah dan masih kelihatan betul anak-anaknya, wong namanya anak 4 tahun.

Di tengah perjalanan, sepeda ontel kebanggaan Budi oleng dan akhirnya tumbang, laksana pohon yang di tebang dengan sinso(gergaji mesin).
Grusak..sak..sak, buk.., plak.., klontang.
Budi langsung bangun dari jatuhnya dan langsung berusaha melihat keadaan adiknya. Sungguh kakak yang baik hati dan rela berkorban demi adiknya, meskipun kepalanya benjol kepentok tong sampah, tapi keselamatan adik yang utama, karena jika rumah tanpa Deni maka rumah akan sepi seperti kamar mandi ketika tidak ada orang. Tetapi jika Deni di rumah, rumah laksana kapal pecah dan penuh dengan ikan dan air asin air laut. Penuh dengan ikan itu perumpamaan mainan si Deni dan air asin air laut itu adalah ompol si Deni, karena si Deni masih suka ngompol.

Alangkah bahagianya hatinya, Deni selamat tanpa lecet, hanya saja tangan, kaki, dan kepalanya terpisah, padahal dari dulunya juga sudah terpisah. Hanya tampak wajahnya merah dan menangis tersedu-sedu. Aneh, padahal Budi sendiri kepalanya benjol. Tapi adiknya malah tidak apa-apa, cuman nangis tok. Yang penting Deni selamat, dia selamat, pikirnya dalam hati. Karena kalau sampai ada apa-apa sama si Deni, Budi harus siap menerima amukan ayah dan ibunya.

Budi mencoba membuat Deni berhenti menangis. Tapi naas, Deni sudah tertawa karena ada badut tidak jauh dari tempatnya jatuh itu, sehingga Deni tidak menangis lagi. Nasib Budi tidak sebagus sepedanya. Stang sepedanya yang tadinya miring jadi lurus lagi, remnya yang tadinya blong jadi pakem lagi, entah bagaimana kok bisa begitu? Mungkin itu mukzizat karena seperti kata pepatah di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Lalu Budi menaikan Deni ke jok belakang sepeda ontel kebanggaannya lalu mengontel sepedanya kerumah dengan menahan rasa sakit kepalanya yang benjol. Untungnya juga di sana sepi dan tidak ada yang melihatnya jatuh, jadi dia tidak begitu malu, walaupun sebenarnya ia pemalu. Yang jelas ia tetap mengontel sepedanya dan terus mengontel sampai kerumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas Comment nya