Halaman

Senin, 16 Juli 2018

FLUKS PANCARAN DAN SISTEM MAGNITUDO


1. Fluks Pancaran
Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau energi yang diterima permukaan kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan watt/ cm2 (satuan internasional) atau erg/s cm2 (satuan cgs).

Besarnya fluks energi yang dipancarkan sebuah benda hitam (F) dengan temperatur T Kelvin adalah :
F = σT4
(σ : konstanta Stefan-Boltzman : 5,67 x 10-8 Watt/m2K4)
Sedangkan total energi per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas permukaan pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas. Besarnya luminositas (L) dihitung dengan persamaan :
L = A σT4
Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar radiasinya (A) adalah 4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang (L) adalah :
L = 4πR2 σT4
Benda hitam memancarkan radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi tersebut menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang sama, yaitu E. Besarnya E :
E = L/(4πd2)
Fluks energi inilah yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak d dari pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima pengamat. (Perhatian : bedakan antara besaran E dan F).
Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (invers square law) untuk kecerlangan (brightness, E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin redup cahayanya.
2. Sistem Magnitudo
Materi yang berikutnya akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan fotometri adalah sistem magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata tanpa alat bantu. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata tanpa alat bantu diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif).
Sistem tersebut kemudian semakin berkembang setelah Galileo dengan teleskopnya menemukan bahwa ternyata terdapat lebih banyak bintang lagi yang lebih redup daripada yang bermagnitudo 6. Skalanya pun berubah hingga muncul magnitudo 7, 8 dan seterusnya. Apalagi sekarang teknologi teleskop sudah semakin maju sehingga bintang paling redup yang masih dapat diamati oleh Hubble Space Telescope adalah bintang dengan magnitudo 31! Walaupun magnitudo 6 sudah bukan lagi nilai terbesar, tetapi magnitudo 6 ini tetap penting hingga kini karena inilah batas magnitudo bintang yang paling redup yang dapat diamati dengan mata tanpa alat bantu.
Sama seperti perkembangan yang terjadi pada magnitudo besar, magnitudo kecil juga mengalami ekspansi seiring dengan semakin majunya teknologi detektor. Dalam kelompok magnitudo 1 kemudian diketahui terdapat beberapa bintang tampak lebih terang dari yang lainnya sehingga muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo negatif juga diperlukan untuk objek langit yang lebih terang lagi.
Pada tahun 1800-an berkembanglah perhitungan matematis untuk sistem magnitudo. Pogson memberikan rumusan berbentuk logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan seperti berikut. Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan perbandingan kecerlangan sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1 lebih terang 100 kali daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang 10000 kali daripada bintang bermagnitudo 11, begitu seterusnya. Dengan rumusan Pogson ini, perhitungan magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih dapat dipercaya.
Awalnya sebagai standar magnitudo digunakan bintang Polaris yang tampak di semua Observatorium yang berada di belahan langit utara. Bintang Polaris ini diberi magnitudo 2 dan magnitudo bintang lainnya dinyatakan relatif terhadap magnitudo bintang polaris. Tahun 1911, Pickering mendapatkan bahwa bintang Polaris, cahayanya berubah-ubah (bintang variabel) dan Pickering mengusulkan sebagai standar magnitudo digunakan kelompok bintang yang ada di sekitar kutub utara (North Polar Sequence) . Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan menggunakan bintang standar yang berada di sekitar bintang yang diamati karena perbedaan keadaan atmosfer Bumi tidak terlalu berpengaruh dalam pengukuran. Pada saat ini telah banyak bintang standar yang bisa digunakan untuk menentukan magnitudo sebuah bintang, baik yang berada di langit belahan utara, maupun di belahan langit selatan.
3. Magnitudo Semu
Magnitudo tampak atau semu (m) dari suatu bintang, planet atau benda langit lainnya adalah pengukuran dari kecerahan atau kecerlangan yang tampak; yaitu banyaknya cahaya yang diterima dari objek itu.
Istilah magnitudo sebagai skala kecerahan bintang muncul lebih dari 2000 tahun yang lampau. Hipparchus, seorang astronom Yunani, membagi bintang-bintang yang dapat dilihat dengan mata tanpa alat bantu ke dalam 6 kelas kecerlangan. Ia membuat sebuah katalog yang berisi daftar lebih dari 1000 bintang dan mengurutkan berdasarkan “magnitudo”-nya dari satu hingga enam, dari yang paling cerlang hingga yang paling redup. Pada tahun 180-an, Claudius Ptolemaeus memperluas pekerjaan Hipparchus, dan sejak saat itu sistem magnitudo menjadi bagian dari tradisi astronomi.
Pada 1856, Norman Robert Pogson meng-konfirmasi penemuan terdahulu John Herschel bahwa bintang bermagnitudo 1 menghasilkan kira-kira 100 kali fluks cahaya daripada bintang bermagnitudo 6. Sistem magnitudo dibuat dengan mendasarkan diri pada mata manusia yang memiliki respon tidak linear terhadap cahaya. Mata dirancang untuk menahan perbedaan dalam kecerlangan. Ini adalah keistimewaan mata yang membuatnya dapat berpindah dari ruang gelap ke tempat yang terang tanpa mengalami kerusakan. Kamera elektronik, yang memiliki respon linear, tidak dapat melakukan hal itu tanpa langkah-langkah pencegahan terlebih dahulu. Ciri-ciri yang sama juga yang membuat mata merupakan pemilah yang buruk bagi perbedaan kecil kecerlangan sementara sebaliknya kamera elektronik (CCD) adalah pemilah yang baik.
Pogson memutuskan untuk mendefinisikan kembali skala magnitudo sehingga perbedaan lima magnitudo merupakan faktor yang tepat 100 dalam fluks cahaya. Jadi rasio fluks cahaya untuk perbedaan satu magnitudo adalah 1001/5 atau 102/5 atau 2,512. Rasio fluks untuk perbedaan 2 magnitudo adalah (102/5)2, perbedaan 3 magnitudo adalah (102/5)3 dan seterusnya. Definisi ini sering disebut sebagai skala Pogson.
Karena banyaknya cahaya yang diterima bergantung pada ketebalan dari atmosfer pada garis pengamatan ke objek, maka magnitudo nampak adalah nilai yang sudah dinormalkan pada nilai yang akan dimiliki di luar atmosfer. Semakin redup suatu objek, semakin tinggi magnitudo tampaknya. Perlu diingat bahwa kecerahan yang tampak tidaklah sama dengan kecerahan sebenarnya suatu objek yang sangat cerah dapat terlihat cukup redup jika objek ini cukup jauh.
Berdasarkan uraian di atas Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.
Skala Pogson untuk magnitudo (semu):
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2

Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang – bintang lainnya untuk dijadikan standar.
Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.
Tabel 1 Daftar Magnitudo Semu benda langit
Magnitudo Semu
Benda Langit
-26,8   
-12,6   
-4.4     
-2.8     
-1.5     
-0.7     
0         
+3.0    
+6.0    
+12.6  
+30     
Matahari
Bulan Purnama
Kecerahan Maksimum Venus
Kecerahan Maksimum Mars
Bintang Tercerah : Sirius
Bintang tercerah kedua : Canopus
Titik nol berdasarkan definisi : Vega
Bintang Teredup yang terlihat di perkotaan
Bintang terendup yang terlihat dengan mata tanpa alat bantu
Kuasar tercerah
Objek teredup yang dapat diamati oleh Teleskop Hubble

Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.
Magnitudo yang dibahas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).
4. Magnitudo Mutlak (Absolut)
Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 parsec (pc), 1 pc= 3,26 tahun cahaya (ly), 1 tahun cahaya = 9,46x1017 cm.
Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2
Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m – M = -5 + 5 log d
Keterangan:
d          : jarak bintang (dalam pc)
m-M    : disebut modulus jarak.
Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Melalui mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.
Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/ benar/ akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m – M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.
Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.
Semakin berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau mfot .
Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index – CI). Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya. Semakin berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.
Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :
a.    U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
b.    B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
c.    V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
Sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya. Pengamatan fotometri saat ini tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.

Tabel 2. Berbagai Sistem Magnitudo
Magnitudo
Warna
l Efektif (Å)
Lebar Pita (Å)
Sistem UGR dari Becker
U
Ultraviolet
3 690
500 – 700
G
Hijau
4 680
R
Merah
6380
Sistem UBV dari Johnson dan Morgan
U
Ultraviolet
3 500
800 – 1000
B
Biru
4 350
V
Kuning
5 550
Sistem Stromgren (Sistem ubvy)
U
Ultraviolet
3 500
~ 200
V
Violet
4 100
B
Biru
4 670
Y
Hijau
5 470

5. Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.
Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkan magnitudo mutlak bintang dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.
Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol – Mbol = -5 + 5log d
Keterangan:
Mbol     = magnitudo mutlak bolometrik bintang
mbol      = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)
d          = jarak dalam parsec.

Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.
Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction – BC).
mv – mbol = BC
Mv – Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.
Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil.
Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.
Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan bintang maharaksasa.
Tabel 3. Indeks warna bintang menurut temperatur efektifnya
Spektrum
B – V
Teff (K)
log Teff
BC
Deret utama (kelas V)

O5
-0,32
(54 000)
(4,732)
(4,76)
B0
-0,30
29 200
4,465
2,85
B5
-0,16
15 200
4,182
1,33
A0
0,00
9 600
3,982
0,21
A5
0,14
8 310
3,920
0,02
F0
0,31
7 350
3,866
0,01
F5
0,43
6 700
3,826
0,04
G0
0,59
6 050
3,782
0,06
G2 (Matahari)
0,63
5 770
3,761
0,07
G5
0,66
5 660
3,753
0,09
K0
0,82
5 240
3,719
0,19
K5
1,15
4 400
3,643
0,62
M0
1,41
3 750
3,574
1,17
M5
1,61
3 200
3,510
2,60
Raksasa (kelas III)




G5
0,92
5 010
3,700
0,27
K0
1,04
4 720
3,674
0,37
K5
1,54
3 780
3,578
1,15
M0
1,55
3 660
3,564
1,24
M5
1,55
2 950
3,470
3,30
Maharaksasa (kelas I)




B0
-0,27
21 000
4,32
2,36
A0
0,01
9 400
3,97
0,45
F0
0,19
7 500
3,88
-0,07
G0
0,70
5 800
3,76
0,03
G5
1,01
5 100
3,71
0,20
K0
1,12
4 900
3,69
0,29
K5
1,62
3 750
3,57
1,17
M5
1,62
2 950
3,47
3,30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas Comment nya