1. Fluks Pancaran
Kuantitas yang pertama
kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah bintang adalah fluks
pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau energi yang diterima permukaan kolektor
(mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan
dalam satuan watt/ cm2 (satuan internasional) atau erg/s cm2
(satuan cgs).
Besarnya fluks energi
yang dipancarkan sebuah benda hitam (F) dengan temperatur T Kelvin adalah :
F
= σT4
(σ : konstanta
Stefan-Boltzman : 5,67 x 10-8 Watt/m2K4)
Sedangkan total energi
per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas permukaan
pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas. Besarnya
luminositas (L) dihitung dengan persamaan :
L
= A σT4
Untuk bintang, bintang
dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar radiasinya (A) adalah
4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang
(L) adalah :
L
= 4πR2 σT4
Benda hitam memancarkan
radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi tersebut
menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang
sama, yaitu E. Besarnya E :
E
= L/(4πd2)
Fluks energi inilah
yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak d dari
pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang
diterima pengamat. (Perhatian : bedakan antara besaran E dan F).
Persamaan ini disebut
juga hukum kuadrat kebalikan (invers
square law) untuk kecerlangan (brightness,
E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding terbalik
dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin redup
cahayanya.
2. Sistem Magnitudo
Materi yang berikutnya
akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan fotometri adalah sistem
magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang.
Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum
masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan
penampakkannya dengan mata tanpa alat bantu. Bintang yang paling terang diberi
magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata tanpa
alat bantu diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang
suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak
adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat
tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat
kualitatif).
Sistem tersebut
kemudian semakin berkembang setelah Galileo dengan teleskopnya menemukan bahwa
ternyata terdapat lebih banyak bintang lagi yang lebih redup daripada yang
bermagnitudo 6. Skalanya pun berubah hingga muncul magnitudo 7, 8 dan
seterusnya. Apalagi sekarang teknologi teleskop sudah semakin maju sehingga
bintang paling redup yang masih dapat diamati oleh Hubble Space Telescope
adalah bintang dengan magnitudo 31! Walaupun magnitudo 6 sudah bukan lagi nilai
terbesar, tetapi magnitudo 6 ini tetap penting hingga kini karena inilah batas
magnitudo bintang yang paling redup yang dapat diamati dengan mata tanpa alat
bantu.
Sama seperti perkembangan
yang terjadi pada magnitudo besar, magnitudo kecil juga mengalami ekspansi
seiring dengan semakin majunya teknologi detektor. Dalam kelompok magnitudo 1
kemudian diketahui terdapat beberapa bintang tampak lebih terang dari yang
lainnya sehingga muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo negatif juga
diperlukan untuk objek langit yang lebih terang lagi.
Pada tahun 1800-an
berkembanglah perhitungan matematis untuk sistem magnitudo. Pogson memberikan
rumusan berbentuk logaritmis yang masih digunakan hingga sekarang dengan aturan
seperti berikut. Secara umum, perbedaan sebesar 5 magnitudo menunjukkan
perbandingan kecerlangan sebesar 100 kali. Jadi, bintang dengan magnitudo 1
lebih terang 100 kali daripada bintang dengan magnitudo 6, dan lebih terang
10000 kali daripada bintang bermagnitudo 11, begitu seterusnya. Dengan rumusan
Pogson ini, perhitungan magnitudo bintang pun menjadi lebih teliti dan lebih
dapat dipercaya.
Awalnya sebagai standar
magnitudo digunakan bintang Polaris yang tampak di semua Observatorium yang
berada di belahan langit utara. Bintang Polaris ini diberi magnitudo 2 dan
magnitudo bintang lainnya dinyatakan relatif terhadap magnitudo bintang polaris.
Tahun 1911, Pickering mendapatkan bahwa bintang Polaris, cahayanya berubah-ubah
(bintang variabel) dan Pickering mengusulkan sebagai standar magnitudo
digunakan kelompok bintang yang ada di sekitar kutub utara (North Polar
Sequence) . Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan menggunakan
bintang standar yang berada di sekitar bintang yang diamati karena perbedaan
keadaan atmosfer Bumi tidak terlalu berpengaruh dalam pengukuran. Pada saat ini
telah banyak bintang standar yang bisa digunakan untuk menentukan magnitudo
sebuah bintang, baik yang berada di langit belahan utara, maupun di belahan
langit selatan.
3. Magnitudo Semu
Magnitudo tampak atau
semu (m) dari suatu bintang, planet atau benda langit lainnya adalah pengukuran
dari kecerahan atau kecerlangan yang tampak; yaitu banyaknya cahaya yang
diterima dari objek itu.
Istilah magnitudo
sebagai skala kecerahan bintang muncul lebih dari 2000 tahun yang lampau.
Hipparchus, seorang astronom Yunani, membagi bintang-bintang yang dapat dilihat
dengan mata tanpa alat bantu ke dalam 6 kelas kecerlangan. Ia membuat sebuah
katalog yang berisi daftar lebih dari 1000 bintang dan mengurutkan berdasarkan
“magnitudo”-nya dari satu hingga enam, dari yang paling cerlang hingga yang
paling redup. Pada tahun 180-an, Claudius Ptolemaeus memperluas pekerjaan
Hipparchus, dan sejak saat itu sistem magnitudo menjadi bagian dari tradisi
astronomi.
Pada 1856, Norman
Robert Pogson meng-konfirmasi penemuan terdahulu John Herschel bahwa bintang
bermagnitudo 1 menghasilkan kira-kira 100 kali fluks cahaya daripada bintang
bermagnitudo 6. Sistem magnitudo dibuat dengan mendasarkan diri pada mata
manusia yang memiliki respon tidak linear terhadap cahaya. Mata dirancang untuk
menahan perbedaan dalam kecerlangan. Ini adalah keistimewaan mata yang
membuatnya dapat berpindah dari ruang gelap ke tempat yang terang tanpa
mengalami kerusakan. Kamera elektronik, yang memiliki respon linear, tidak
dapat melakukan hal itu tanpa langkah-langkah pencegahan terlebih dahulu.
Ciri-ciri yang sama juga yang membuat mata merupakan pemilah yang buruk bagi
perbedaan kecil kecerlangan sementara sebaliknya kamera elektronik (CCD) adalah
pemilah yang baik.
Pogson memutuskan untuk
mendefinisikan kembali skala magnitudo sehingga perbedaan lima magnitudo
merupakan faktor yang tepat 100 dalam fluks cahaya. Jadi rasio fluks cahaya untuk
perbedaan satu magnitudo adalah 1001/5 atau 102/5 atau
2,512. Rasio fluks untuk perbedaan 2 magnitudo adalah (102/5)2,
perbedaan 3 magnitudo adalah (102/5)3 dan seterusnya.
Definisi ini sering disebut sebagai skala Pogson.
Karena banyaknya cahaya
yang diterima bergantung pada ketebalan dari atmosfer pada garis pengamatan ke
objek, maka magnitudo nampak adalah nilai yang sudah dinormalkan pada nilai
yang akan dimiliki di luar atmosfer. Semakin redup suatu objek, semakin tinggi
magnitudo tampaknya. Perlu diingat bahwa kecerahan yang tampak tidaklah sama
dengan kecerahan sebenarnya suatu objek yang sangat cerah dapat terlihat cukup
redup jika objek ini cukup jauh.
Berdasarkan uraian di
atas Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang
bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali
lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini,
Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan
sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.
Skala Pogson untuk
magnitudo (semu):
dengan
:
m1
: magnitudo (semu) bintang 1
m2
: magnitudo (semu) bintang 2
E1
: Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2
: Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2
Harga acuan (pembanding
standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris
ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap
bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih
karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi
utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju
secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang
berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga
kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh
sebab itu, astronom menentukan bintang – bintang lainnya untuk dijadikan
standar.
Untuk mengukur
kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip
kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah
yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas).
Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan
tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas.
Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang
elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat
menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita
dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.
Tabel 1 Daftar
Magnitudo Semu benda langit
Magnitudo Semu
|
Benda Langit
|
-26,8
-12,6
-4.4
-2.8
-1.5
-0.7
0
+3.0
+6.0
+12.6
+30
|
Matahari
Bulan
Purnama
Kecerahan
Maksimum Venus
Kecerahan
Maksimum Mars
Bintang
Tercerah : Sirius
Bintang
tercerah kedua : Canopus
Titik
nol berdasarkan definisi : Vega
Bintang
Teredup yang terlihat di perkotaan
Bintang
terendup yang terlihat dengan mata tanpa alat bantu
Kuasar
tercerah
Objek
teredup yang dapat diamati oleh Teleskop Hubble
|
Cara terbaik untuk
mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan
bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan
atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang
diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang
dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang
dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini,
sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.
Magnitudo yang dibahas
merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor
jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan
ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita
lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).
4. Magnitudo Mutlak
(Absolut)
Untuk menyatakan
luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran
magnitudo mutlak (intrinsic/absolute
magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 parsec
(pc), 1 pc= 3,26 tahun cahaya (ly), 1 tahun cahaya = 9,46x1017 cm.
Skala Pogson untuk
magnitudo mutlak (M) :
dengan
:
M1
: magnitudo mutlak bintang 1
M2
: magnitudo mutlak bintang 2
L1
: Luminositas bintang 1
L2
: Luminositas bintang 2
Hubungan antara
magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m
– M = -5 + 5 log d
Keterangan:
d
: jarak bintang (dalam pc)
m-M : disebut modulus jarak.
Persamaan modulus jarak
umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak
langsung (metode indirect). Seperti
yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya
bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang
dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode
tak langsung (indirect). Salah
satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan
magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak
metode/caranya. Melalui mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo
mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.
Hal yang perlu
diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/ benar/ akurat jika
diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang
kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian
cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak
diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m
– M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta
serapan materi antar bintang.
Sebelum perkembangan
fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah
panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya
kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada
daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.
Semakin berkembangnya
fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal
fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang
gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut
magnitudo fotografi atau mfot .
Jadi, untuk suatu
bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo
tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks
warna (Color Index – CI). Semakin
panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya. Semakin berkembangnya
fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah
panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.
Pada tahun 1951, H.L.
Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV,
yaitu :
a. U
= magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
b. B
= magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
c. V
= magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
Sistem UBV ini, indeks
warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai
(B-V) nya. Pengamatan fotometri saat ini tidak lagi menggunakan pelat film,
tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam
sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.
Tabel 2.
Berbagai Sistem Magnitudo
Magnitudo
|
Warna
|
l
Efektif (Å)
|
Lebar Pita (Å)
|
|
Sistem
UGR dari Becker
|
U
|
Ultraviolet
|
3
690
|
500
– 700
|
G
|
Hijau
|
4
680
|
||
R
|
Merah
|
6380
|
||
Sistem
UBV dari Johnson dan Morgan
|
U
|
Ultraviolet
|
3
500
|
800
– 1000
|
B
|
Biru
|
4
350
|
||
V
|
Kuning
|
5
550
|
||
Sistem
Stromgren (Sistem ubvy)
|
U
|
Ultraviolet
|
3
500
|
~ 200
|
V
|
Violet
|
4
100
|
||
B
|
Biru
|
4
670
|
||
Y
|
Hijau
|
5
470
|
5. Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang
sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU).
Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada
spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya,
namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh
panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu,
didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan
magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.
Magnitudo mutlak
bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui
luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan
bintang per detik) dengan membandingkan magnitudo mutlak bintang dengan
magnitudo mutlak bolometrik Matahari.
Persamaan modulus jarak
untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol
– Mbol = -5 + 5log d
Keterangan:
Mbol
= magnitudo mutlak bolometrik bintang
mbol
= magnitudo mutlak bolometrik Matahari
(4,74)
d
= jarak dalam parsec.
Apabila Mbol
suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan
(dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan
parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo
mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang
tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian
energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian
energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan
magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.
Untuk memudahkan,
magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi.
Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi
pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction – BC).
mv –
mbol = BC
Mv
– Mbol = BC
Nilai BC tergantung
pada temperatur atau warna bintang.
Untuk bintang yang
sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet
sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya
dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah
visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk
bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan
pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil.
Karena harga BC
bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan
indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo
bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk
BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.
Untuk Matahari,
magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak
bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC =
0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk
bintang-bintang deret utama dan bintang maharaksasa.
Tabel 3. Indeks warna bintang menurut temperatur
efektifnya
Spektrum
|
B – V
|
Teff (K)
|
log Teff
|
BC
|
Deret utama (kelas V)
|
|
|||
O5
|
-0,32
|
(54 000)
|
(4,732)
|
(4,76)
|
B0
|
-0,30
|
29 200
|
4,465
|
2,85
|
B5
|
-0,16
|
15 200
|
4,182
|
1,33
|
A0
|
0,00
|
9 600
|
3,982
|
0,21
|
A5
|
0,14
|
8 310
|
3,920
|
0,02
|
F0
|
0,31
|
7 350
|
3,866
|
0,01
|
F5
|
0,43
|
6 700
|
3,826
|
0,04
|
G0
|
0,59
|
6 050
|
3,782
|
0,06
|
G2 (Matahari)
|
0,63
|
5 770
|
3,761
|
0,07
|
G5
|
0,66
|
5 660
|
3,753
|
0,09
|
K0
|
0,82
|
5 240
|
3,719
|
0,19
|
K5
|
1,15
|
4 400
|
3,643
|
0,62
|
M0
|
1,41
|
3 750
|
3,574
|
1,17
|
M5
|
1,61
|
3 200
|
3,510
|
2,60
|
Raksasa (kelas III)
|
|
|
|
|
G5
|
0,92
|
5 010
|
3,700
|
0,27
|
K0
|
1,04
|
4 720
|
3,674
|
0,37
|
K5
|
1,54
|
3 780
|
3,578
|
1,15
|
M0
|
1,55
|
3 660
|
3,564
|
1,24
|
M5
|
1,55
|
2 950
|
3,470
|
3,30
|
Maharaksasa (kelas I)
|
|
|
|
|
B0
|
-0,27
|
21 000
|
4,32
|
2,36
|
A0
|
0,01
|
9 400
|
3,97
|
0,45
|
F0
|
0,19
|
7 500
|
3,88
|
-0,07
|
G0
|
0,70
|
5 800
|
3,76
|
0,03
|
G5
|
1,01
|
5 100
|
3,71
|
0,20
|
K0
|
1,12
|
4 900
|
3,69
|
0,29
|
K5
|
1,62
|
3 750
|
3,57
|
1,17
|
M5
|
1,62
|
2 950
|
3,47
|
3,30
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas Comment nya